Halaman

Minggu, 06 November 2011

Tidak Cukup Jika Hanya Padepokan Seni Bedaya!


Tidak Cukup Jika Hanya Padepokan Seni Bedaya!
 Oleh: Aros Djoangkoe


Kita mempunyai wayang sebagai hasil karya bangsa. Wayang merupakan budaya warisan yang murni dari nenek moyang pendahulu kita. Jauh sebelum masuknya Agama Hindu dan Budha ke Nusantara, nenek moyang kita telah berhasil menciptakan wayang. Pada masa awal, wayang tersebut digunakan untuk mengundang roh-roh halus. Tetapi dalam perkembangannya, setelah masuknya Agama Hindu dan Budha, dunia pewayangan diisi dengan cerita-cerita dari India; semacam Ramayana, Mahabarata, dll. Kemudian, budaya wayang tersebut juga digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Beliau tidak lain menggunakan wayang untuk  menyebarkan agama islam sampai ke Tanah Jawa. Susah payah beliau dalam nguri-urinya. Tidak mengherankan jika sampai sekarang ini, telah muncul berbagai kreasi wayang baik perwujudan fisiknya,  maupun isi cerita yang hendak disampaikan. Diantaranya ada wayang kulit (wayang purwa), wayang kertas, wayang golek, wayang beber, wayang wong, dll. Menurut isi ceritanya, ada wayang wahyu, wayang perjuangan, wayang populer dengan tokoh yang lebih bebas, dll.

            Seperti yang kita ketahui, bahwa sejalan dengan modernisasi, menyebabkan hal-hal yang berbau tradisional semakin ditinggalkan. Bahkan muncul berbagai anggapan negatif yang dilahirkan dari benak masyarakat terhadap keberadaan budaya tradisional tadi. Ada yang mengatakan budaya tradisional itu tidak mutu, buang-buang waktu, dan ketinggalan jaman.  Ada yang mengatakannyandeso’ (katrok dalam bahasa kerennya). Kurangnya penghargaan terhadap budaya tradisional seperti di atas tadi menjadikan  budaya tradisional semakin dijauhi dan ditinggal pergi oleh masyarakat, hingga budaya tradisional benar-benar punah.Kepunahan budaya tradisional ujung-ujungnya akan sampai pada hilangnya jati diri bangsa itu sendiri.

             Dalam konteks yang lebih sempit, budaya wayang juga terkena imbasnya. Tidak mengherankan jika budaya wayang kini berada di ujung tanduk. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi budaya wayang untuk menghilang dari eksistensinya. Padahal wayang kaya akan makna, baik secara lahir maupun batin. Dipandang dari segi lahir utamanya berkaitan dengan seni. Dari segi batin memuat filsafat (jawa) yang terkandung di dalamnya.

            :Sampai bangsa asing terkagum-kagum. Ada pula bangsa lain yang hendak mengklaimnya.


#          #          #


Jauh dari keramaian masyarakat yang sibuk dengan segala aktivitas, di kaki Gunung Merapi, tepatnya di Desa Tutup Ngisor, Kec. Dukun, Kab. Magelang, Jawa Tengah, di sana telah berdiri satu padepokan seni untuk memelihara kelanggengan budaya wayang. Kira-kira 7 km dari puncak Merapi. Padepokan tersebut bernama  Padepokan Seni Bedaya. Tentu saja tidak banyak yang mengetahui keberadaannya. Hal tersebut disebabkan lokasi padepokan seni tersebut memang terisolir, jauh dari keramaian
.
Dari Terminal Talun, Kec. Dukun, tiada angkutan umum yang dapat mengantarkan kita sampai ke sana. Kita harus berjalan kaki kira-kira sejauh 6 km ke utara melewati persawahan dan desa-desa. Cara lainnya yaitu dengan menaiki angkutan umum dari Terminal Prayitno, Kec. Muntilan sampai turun di Desa Sumber. Baru kemudian kita jalan kaki ke arah barat. Atau sebaiknya kita menggunakan kendaraan pribadi.

Sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Sawah-sawah terbentang luas. Pohon-pohon besar juga masih mudah untuk ditemukan. Panorama hijau tersebut digelar sampai ujung horison. Ditambah dengan pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang menjulang tinggi, aduhai.

Yang lebih penting lagi, masyarakat yang ada di sana ramah sekaligus terbuka. Tanyalah kepada mereka jika tersesat, pasti akan dibantunya. Dasarnya, memang orang-orang desa baik semua.

 Akan sampailah kita ke gapura Padepokan Seni Bedaya yang sederhana bertulis huruf jawa di kiri jalan. Walau area tidak begitu luas, bangunan-bangunan di sana dapat tertata rapi mirip dengan bangunan pada jaman dahulu. Sebut saja mirip seperti keraton. Di belakangnya ada makam pendiri Padepokan Seni Bedaya yang dibangun mewah.

Perlu diketahui juga, kebanyakan penghuni padepokan tersebut menganut kejawen, sama dengan agama orang jawa jaman dulu.Walau begitu, mereka dapat hidup berdampingan dengan masyarakaat beragama lain (Islam). Hal itu terbukti dengan adanya masjid yang nyaris masuk area padepokan.

Alhamdulillah tuan rumahnya juga ramah dan terbuka. Oleh karena itu, kita dapat memasuki padepokan dan bersosialisasi secara mudah dan nyaman, baik kepada penghuni padepokan ataupun warga sekitar.

Seperti yang dikatakan Sanggrikan (70-an tahun), Mantan Kepala Padepokan, bahwa padepokan tersaebut telah berdiri sejak tahun 1939 dan masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Kepengurusannya dikelola secara turun temurun walau masih sederhana. Saat ini, kepala padepokan Seni Bedaya dipegang oleh adik beliau sendiri, Sitras Anjilin. Ketika saya berkunjung ke sana untuk melakukan wawancara, malangnya Pak Sitras sedang tidak ada di padepokan.

 Masalah timbul karena kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat menyebabkan anggota atau murid yang belajar di sana sebagian besar ada dari pihak keluarga pendiri sendiri, meski terbuka untuk umum, secara kekeluargaan pula. Mereka biasanya mengadakan latihan pada Hari Rabu dan Minggu.

            Adapun wayang yang mereka gelar yaitu khusus wayang wong. (Kalau ada kesenian lain maka tidak lain adalah jathilan.)Para murid di padepokan ini terampil sekali mengadakan pagelaran wayang. Anak-anak kecilpun yang baru menginjak sekolah SD s.d. SMP sudah pandai memainkan peran. Ada Slamet, Shinta, Bella, dll. Sedangkan dalam wayang bocah, yang lebih dewasa biasanya menjadi niaga (orang yang menabuh perangkat gamelan) dan sinden (penyanyi). Tidak mengherankan jika mereka mampu menyabet berbagai prestasi dan mengadakan pagelaran wayang di berbagai daerah, seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, dan lain-lain.


#          #          #


“Padepokan seni ini diadakan dengan maksud untuk melestarikan wayang yang hampir punah supaya tetap kestari sepanjang masa, ucap Sanggrikan lagi dengan Bahasa Jawanya sebelum kami mengakhiri wawancara. Beliau sangat berharap budaya wayang selalu ada untuk selamanya.

            Walau begitu, jelas tidak cukup jika hanya Padepokan Seni Bedaya saja yang turun tangan. Butuh kita para generasi bangsa untuk ikut berpartisipasi dalam pelestarian budaya wayang. Sudah waktunya pula kita bangga terhadap budaya wayang. Harusnya, kita tidak boleh malu lagi terhadap produk negeri sendiri, malah harus bangga. Jadi, kini mari kita bersama bangkit, serentak! Jangan sampai lagi budaya kita diklaim oleh bangsa lain!
           
SALAM BUDAYA!!!

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar