Halaman

Minggu, 06 November 2011

Tidak Cukup Jika Hanya Padepokan Seni Bedaya!


Tidak Cukup Jika Hanya Padepokan Seni Bedaya!
 Oleh: Aros Djoangkoe


Kita mempunyai wayang sebagai hasil karya bangsa. Wayang merupakan budaya warisan yang murni dari nenek moyang pendahulu kita. Jauh sebelum masuknya Agama Hindu dan Budha ke Nusantara, nenek moyang kita telah berhasil menciptakan wayang. Pada masa awal, wayang tersebut digunakan untuk mengundang roh-roh halus. Tetapi dalam perkembangannya, setelah masuknya Agama Hindu dan Budha, dunia pewayangan diisi dengan cerita-cerita dari India; semacam Ramayana, Mahabarata, dll. Kemudian, budaya wayang tersebut juga digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Beliau tidak lain menggunakan wayang untuk  menyebarkan agama islam sampai ke Tanah Jawa. Susah payah beliau dalam nguri-urinya. Tidak mengherankan jika sampai sekarang ini, telah muncul berbagai kreasi wayang baik perwujudan fisiknya,  maupun isi cerita yang hendak disampaikan. Diantaranya ada wayang kulit (wayang purwa), wayang kertas, wayang golek, wayang beber, wayang wong, dll. Menurut isi ceritanya, ada wayang wahyu, wayang perjuangan, wayang populer dengan tokoh yang lebih bebas, dll.

            Seperti yang kita ketahui, bahwa sejalan dengan modernisasi, menyebabkan hal-hal yang berbau tradisional semakin ditinggalkan. Bahkan muncul berbagai anggapan negatif yang dilahirkan dari benak masyarakat terhadap keberadaan budaya tradisional tadi. Ada yang mengatakan budaya tradisional itu tidak mutu, buang-buang waktu, dan ketinggalan jaman.  Ada yang mengatakannyandeso’ (katrok dalam bahasa kerennya). Kurangnya penghargaan terhadap budaya tradisional seperti di atas tadi menjadikan  budaya tradisional semakin dijauhi dan ditinggal pergi oleh masyarakat, hingga budaya tradisional benar-benar punah.Kepunahan budaya tradisional ujung-ujungnya akan sampai pada hilangnya jati diri bangsa itu sendiri.

             Dalam konteks yang lebih sempit, budaya wayang juga terkena imbasnya. Tidak mengherankan jika budaya wayang kini berada di ujung tanduk. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi budaya wayang untuk menghilang dari eksistensinya. Padahal wayang kaya akan makna, baik secara lahir maupun batin. Dipandang dari segi lahir utamanya berkaitan dengan seni. Dari segi batin memuat filsafat (jawa) yang terkandung di dalamnya.

            :Sampai bangsa asing terkagum-kagum. Ada pula bangsa lain yang hendak mengklaimnya.


#          #          #


Jauh dari keramaian masyarakat yang sibuk dengan segala aktivitas, di kaki Gunung Merapi, tepatnya di Desa Tutup Ngisor, Kec. Dukun, Kab. Magelang, Jawa Tengah, di sana telah berdiri satu padepokan seni untuk memelihara kelanggengan budaya wayang. Kira-kira 7 km dari puncak Merapi. Padepokan tersebut bernama  Padepokan Seni Bedaya. Tentu saja tidak banyak yang mengetahui keberadaannya. Hal tersebut disebabkan lokasi padepokan seni tersebut memang terisolir, jauh dari keramaian
.
Dari Terminal Talun, Kec. Dukun, tiada angkutan umum yang dapat mengantarkan kita sampai ke sana. Kita harus berjalan kaki kira-kira sejauh 6 km ke utara melewati persawahan dan desa-desa. Cara lainnya yaitu dengan menaiki angkutan umum dari Terminal Prayitno, Kec. Muntilan sampai turun di Desa Sumber. Baru kemudian kita jalan kaki ke arah barat. Atau sebaiknya kita menggunakan kendaraan pribadi.

Sepanjang perjalanan disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Sawah-sawah terbentang luas. Pohon-pohon besar juga masih mudah untuk ditemukan. Panorama hijau tersebut digelar sampai ujung horison. Ditambah dengan pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang menjulang tinggi, aduhai.

Yang lebih penting lagi, masyarakat yang ada di sana ramah sekaligus terbuka. Tanyalah kepada mereka jika tersesat, pasti akan dibantunya. Dasarnya, memang orang-orang desa baik semua.

 Akan sampailah kita ke gapura Padepokan Seni Bedaya yang sederhana bertulis huruf jawa di kiri jalan. Walau area tidak begitu luas, bangunan-bangunan di sana dapat tertata rapi mirip dengan bangunan pada jaman dahulu. Sebut saja mirip seperti keraton. Di belakangnya ada makam pendiri Padepokan Seni Bedaya yang dibangun mewah.

Perlu diketahui juga, kebanyakan penghuni padepokan tersebut menganut kejawen, sama dengan agama orang jawa jaman dulu.Walau begitu, mereka dapat hidup berdampingan dengan masyarakaat beragama lain (Islam). Hal itu terbukti dengan adanya masjid yang nyaris masuk area padepokan.

Alhamdulillah tuan rumahnya juga ramah dan terbuka. Oleh karena itu, kita dapat memasuki padepokan dan bersosialisasi secara mudah dan nyaman, baik kepada penghuni padepokan ataupun warga sekitar.

Seperti yang dikatakan Sanggrikan (70-an tahun), Mantan Kepala Padepokan, bahwa padepokan tersaebut telah berdiri sejak tahun 1939 dan masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Kepengurusannya dikelola secara turun temurun walau masih sederhana. Saat ini, kepala padepokan Seni Bedaya dipegang oleh adik beliau sendiri, Sitras Anjilin. Ketika saya berkunjung ke sana untuk melakukan wawancara, malangnya Pak Sitras sedang tidak ada di padepokan.

 Masalah timbul karena kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat menyebabkan anggota atau murid yang belajar di sana sebagian besar ada dari pihak keluarga pendiri sendiri, meski terbuka untuk umum, secara kekeluargaan pula. Mereka biasanya mengadakan latihan pada Hari Rabu dan Minggu.

            Adapun wayang yang mereka gelar yaitu khusus wayang wong. (Kalau ada kesenian lain maka tidak lain adalah jathilan.)Para murid di padepokan ini terampil sekali mengadakan pagelaran wayang. Anak-anak kecilpun yang baru menginjak sekolah SD s.d. SMP sudah pandai memainkan peran. Ada Slamet, Shinta, Bella, dll. Sedangkan dalam wayang bocah, yang lebih dewasa biasanya menjadi niaga (orang yang menabuh perangkat gamelan) dan sinden (penyanyi). Tidak mengherankan jika mereka mampu menyabet berbagai prestasi dan mengadakan pagelaran wayang di berbagai daerah, seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, dan lain-lain.


#          #          #


“Padepokan seni ini diadakan dengan maksud untuk melestarikan wayang yang hampir punah supaya tetap kestari sepanjang masa, ucap Sanggrikan lagi dengan Bahasa Jawanya sebelum kami mengakhiri wawancara. Beliau sangat berharap budaya wayang selalu ada untuk selamanya.

            Walau begitu, jelas tidak cukup jika hanya Padepokan Seni Bedaya saja yang turun tangan. Butuh kita para generasi bangsa untuk ikut berpartisipasi dalam pelestarian budaya wayang. Sudah waktunya pula kita bangga terhadap budaya wayang. Harusnya, kita tidak boleh malu lagi terhadap produk negeri sendiri, malah harus bangga. Jadi, kini mari kita bersama bangkit, serentak! Jangan sampai lagi budaya kita diklaim oleh bangsa lain!
           
SALAM BUDAYA!!!

Meninggalnya lumpang dan Kenteng, Oleh Aros Djoangkoe


BAB I. PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Benar apa yang dinyatakan Koenjaraningrat, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia itu. Tambahnya, kebudayaan tersebut didapat dari proses pembelajaran.
Awal mulanya memang kebudayaan bersifat abstrak, sebab berada di alam pikiran manusia saja, yaitu berupa ide, gagasan, norma, nilai, peraturan, dan lain-lain. Kemudian, jika diwujudkan akan menghasilkan sesuatu yang bersifat konkrit, tidak lain berupa perilaku (aktivitas) dan benda-benda hasil karya manusia (artefak).
Sedangkan dampak dari pembelajaran adalah dilahirkannya perubahan. Sejarah pun sudah mencatat, bahwa jauh sebelum kita lahir, nenek moyang sudah pandai memanfaatkan apa yang ada di alam untuk membuat artefak. Dari batu, mereka mampu menciptakan kapak perimbas, kapak genggam, kapak persegi, kapak lonjong, alat-alat serpih, punden berundak,waruga, sarkofagus,  menhir,  dolmen, dan lain-lain. Zaman batu tersebut berlangsng lama sekali sampai diklasifikasikan menjadi 4 kelompok: paleozoikum, neozoikum, mesozoikum, dan megalitikum. Baru kemudian masyarakat mengenal logam, maka ada nekara, moko, bejana, perhiasan, dan lain-lain. Tambah lagi dengan menyusulnya bangunan-bangunan candi, masjid, dan rumah yang megah. Apalagi di zaman sekarang ini, semua serba modern. Teknologipun berkembang tanpa terkendali. Hal di atas menunjukkan kalau kebudayaan memang bersifat dinamis.
Oleh karena itu, bolehlah kalau kita menyimpulkan bahwa arus kebudayaan masyarakat  terus saja melangkah maju dari waktu ke waktu. Masyarakat cenderung tidak puas untuk selalu membuat dan memperbarui benda-benda sebagai perlengkapan hidupnya, tidak lain agar kebutuhan masyarakat itu terpenuhi dengan lebih mudah.
Sekarang, hendaknya mari kita menengok kembali masa-masa sekitar sepuluh tahun terakhir ini. Waktu itu kehidupan masyarakat juga masih sangat sederhana, di masyarakat desa utamanya. Tidak seperti sekarang, dulu di dapur (kebanyakan) belum ada blinder, magic jar, rice cooker, oven, teko lisrik, kompor gas, dan lain-lain. Urusan masak-memasak tersebut tidak lain adalah urusan perut, sehingga sangatlah penting dan mendasar. Pengerjaannya pun juga masih dilakukan dengan cara yang sederhana pula.
Walau bagaimanapun, lagi-lagi sejarah tetap selalu mencatat segala kisah yang sudah terjadi mengiringi kelahiran waktu. Faktanya pernah ada lumpang dan kenteng yang menopang urusan paling mendasar tadi, yaitu berkaitan dalam penyediaan bahan makanan. Kedua jenis benda warisan zaman megalitikum tersebut memang sudah lama sekali erat dengan kehidupan masyarakat. Tetapi, lihatlah di zaman sekarang ini, dengan  mudahnya lumpang dan kenteng tidak diketahui lagi bagaimana kabarnya.  Karena itulah harusnya lumpang dan kenteng sudah bisa disebut sebagai benda peninggalan budaya.
Kita pun sadar dan mengakui bahwa lumpang dan kenteng memang sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang dan keberadaannyapun tidak dibutuhkan lagi. Tetapi, dibalik semua itu, terkandung kehidupan masyarakat di masa lalu. Setidaknya, kita dapat membayangkan apa yang dulu masyarakat lakukan terhadap kedua jenis benda itu, berikut corak kehidupan yang menyertainya dan bagaimana manusia pada waktu itu dapat beradaptasi dengan lingkungannya.  Erat kaitannya dalam hubungannya mempelajari perubahan/pergeseran budaya (yang terjadi baru-baru ini), lumpang dan kenteng sangatlah berharga. Keberadaannya nyata mampu menyumbangkan ajaran (pengetahuan) akan jalannya peradaban umat manusia.
Di samping itu pun, kejadian perihal ditinggalkannya lumpang dan kenteng ini termasuk masih berbau kekinian. Pasalnya, kejadian ini masih segar karena umurnya yang masih muda, yaitu dalam rentang waktu sekitar sepuluh tahun terakhir ini. (Seharusnya masyarakat memberikan perhatian yang lebih terhadapnya.)
Di daerah peneliti sendiri (Kab. Magelang, Jawa Tengah) dikelilingi oleh banyak candi, seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Ngawen, Candi Aso, (situs) Candi Mantingan, dan lain-lain. Apalagi tanah  Jawa dulu memang banyak sekali kerajaan-kerajaan yang berdiri di sana. Hal itu menunjukkan jenis kebudayaan pusat, sehingga layak untuk dijadikan tolak ukur. Lalu, mengapa di  Museum Mahakarmawibangga,Candi Borobudur (yang sudah berstandar internasional) itu tidak dapat ditemukan artefak lumpang dan kenteng?(Catatan lapangan, 17 April 2011.)
Tidak kalah mirisnya lagi, sulit sekali menemukan peneliti lain yang mengekpos seputar ditinggalkannya lumpang dan kenteng. Hal tersebut kemudian berdampak pada ketersediaan literatur penelitian yang sangat terbatas.
Berangkat dari semua itulah, peneliti akhirnya memberanikan diri untuk memulai melakukan penelitian dan mengangkat fenomena kebudayaan ini, kemudian menuliskannya menjadi karya tulis ilmiah dengan judul ................ Semoga bermanfaat dan dapat dikembangkan lebih lanjut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu lumpang? Apa itu kenteng?
2.      Bagaimana perilaku masyarakat sekarang ini terhadap lumpang dan kenteng?
3.      Bagaimana lumpang dan kenteng bisa di tinggalkan oleh masyarakat?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Menjelaskan apa itu lumpang dan kenteng.
2.      Menjelaskan bagaimana masyarakat sekarang ini menanggapi lumpang dan kenteng.
3.      Menjelaskan bagaimana lumpang dan kenteng bisa ditinggalkan masyarakat.

D.    Manfaat Penelitian
1.      Bagi pemerintah terkait           : agar lekas mengeluarkan kebijakan untuk menyelamatkan
                                                 keberadaan lumpang dan kenteng.
2.      Bagi masyarakat luas              : agar lekas menghargai dan merawat benda peninggalan
 budaya, lumpang dan kenteng utamanya.









BAB II. KAJIAN TEORI

A.   Lumpang
Lumpang merupakan salah satu peninggalan budaya zaman batu, tepatnya pada zaman megalitikum. Ciri-ciri zaman megalitikum sendiri yaitu digunakannya batu-batu besar untuk berbagai peralatan hidup. s
tumbukan
padi; lumpang
kenth�ng : lumpang
batu besar


Keadaan di desa tempat melakukan penelitianPenelitian di lakukan di Dusun Soko I, Soko II, Curah I, Curah II, dan Curah III (Desa Sokorini), dan Desa Drojogan. Secara umum, kedua desa tersebut sama-sama berada di Kec. Muntilan, Kab. Magelang, Jawa Tengah. re

Meskipun tidak melalui penelitian arkeologis dapat kita ketahui bahwa diberbagai tempat di Mandailing terdapat berbagai peninggalan zaman pra-sejarah. Sebagai contoh, ditengah hutan yang tidak jauh letaknya dari desa Runding di sebarang sungai Batang Gadis, terdapat penginggalan zaman pra-sejarah berupa lumpang-lumpang batu berukuran besar. Karena lumpang-lumpang batu tersebut berasal dari masa megalithicum (masa kebudayaan batu besar di zaman pra-sejarah) .

yakni digunakan untuk menemumbuk padi atau biji-bijian (jagung, kedelai, sorgum, dan sebagainya).

Survei yang dilaksanakan oleh tim penelitian Balai Arkeologi Medan pada tahun 2002 juga menemukan lumpang-lumpang yang berhias seperti adanya lubang-lubang kecil yang teratur dan pahatan-pahatan di bagian luarnya.
Mengutip dari karya tulis para peneliti Balai Arkeologi Medan, bahwa tinggalan berupa lumpang di ketiga ceruk itu merupakan salah satu unsur budaya megalitik karena di beberapa tempat lain di Indonesia ditemukan pada situs-situs pemujaan maupun penguburan, sehingga keberadaannya sering dikaitkan dengan upacara-upacara yang dilaksanakan di situs itu. Misalnya yang terdapat di Salakdatar dan Tugugede, Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, serta Desa Sakkal, Kecamatan Simamindo, Pulau Samosir, Provinsi Sumatera Utara (Sukendar,1977:9 ; Handini,1996:37). Selain itu juga disebutkan bahwa ada kaitan antara batu dakon dengan upacara kematian, karena sering ditemukan di sekitar bangunan megalitik yang merupakan kuburan (Teguh Asmar dalam Sumijati,1980:105).

BAB III. METODELOGI PENELITIAN

A.    Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan berbagai tempat, diantaranya sebagai berikut:
1.      Dusun Soko I, Soko II, Curah I, Curah II, dan Curah III
(Desa Sokorini, Kec. Muntilan, kab. Magelang, Jawa Tengah)
2.      Desa Sokorini, Kec. Muntilan, kab. Magelang, Jawa Tengah
3.      Museum Mahakarmawibangga, Candi Borobudur
4.      Perpustakaan Daerah Kec. Muntilan, kab. Magelang, Jawa Tengah
5.      Perpustakaan SMA N 1 Muntilan
Sedangkan rentang waktu pelaksanaannya yaitu antara tanggal 16 April-24 April 2011

B.     Subjek dan Objek Penelitian
Dalam hal ini, subjek penelitian yaitu masyarakat di desa tempat melakukan penelitian, baik yang memiliki lumpang dan kenteng, maupun yang tidak memilikinya.
Untuk objeknya, tidak lain adalah lumpang dan kenteng yang berada di desa tempat melakukan penelitian itu sendiri.

C.    Metode Penelitian
Dalam usahanya untuk mendapatkan data-data, di sini peneliti menggunakan 3 cara, diantaranya:
1.        Tinjauan Pustaka, yaitu dengan mencari dan menelaah literatur yang ada kaitannya dengan lumpang dan kenteng. Literatur sendiri didapat via internet dan dari buku-buku di perpustakaan.
2.         Wawancara, yaitu dengan melakukan serangkaian tanya jawab kepada masyarakat di desa tempat melakukan penelitian, baik yang memiliki lumpang dan kenteng, maupun yang tidak memilikinya.
3.        Observasi, yaitu dengan terjun langsung di desa tempat melakukan penelitian. Di sana terlebih dahulu peneliti berkeliling dan bertanya-tanya untuk menemukan lumpang dan kenteng. Setelah itu, baru kemudian mengamati, meneliti, dan mendokumentasinya (dalam bentuk foto).

D.    Instrumen Penelitian
Adapun segala peralatan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu:
1.      Buku catatan dan bolpoin
2.      Kamera (HP)
3.      Arit dan bendo
4.      Cangkul dan linggis
5.      Pengungkit


BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian
1.      Awal Mula Peneliti Berkenalan dengan Lumpang dan Kenteng
Sebenarnya, awal mula peneliti berkenalan dengan lumpang dan kenteng yaitu dari pengalaman tidak disengaja. Ketika itu selepas Sholat Isya’, di teras masjid sedang ada perbincangan yang agaknya berbau klenik. Sepertinya para jemaah sedang berbincang mengenai sebuah kenteng yang sudah tidak terpakai lagi, tetapi sangatlah populer. Pasalnya, masyarakat setempat menyakralkan kenteng tersebut. Konon khusus kenteng yang satu ini dulu biasa digunakan untuk memandikan anak yang lumpuh agar cepat bisa berjalan normal, seperti anak seusianya. Hal itu tentu tidak ada ilmiahnya sedikitpun. Lalu, perbincangan terus mengalir sampai mengenai Pasar Kramat, pasar yang beda dengan pasar tradisional lainnya. Di sana kiranya sebagai tempat mengobati penyakit dengan jalur perdukunan juga. Maka, peneliti merasa tertarik dan buru-buru meluruskan perbincangan tersebut. Dari situlah akhirnya peneliti menjadi tahu banyak informasi mengenai apa itu kenteng, gunanya, tempat-tempat di mana kenteng lain dapat ditemukan, sampai informasi mengenai lumpang juga. (Ternyata jamaah masjid dengan komposisi orang tua itu masih mengetahui betul seputar lumpang dan kenteng.)
Peneliti sendiri kemudian merasa diingatkan akan masa kecilnya kira-kira saat masih berumur 5 tahun. Ketika itu di dalam rumah kakeknya biasa ada lumpang dan di dalamnya sering ada makanan, atau sekedar bumbu. (Peneliti biasa mencicipi makanan tersebut tanpa sepengetahuan kakek dan neneknya.) Biasa juga peneliti membantu memindahkan lumpang tersebut dengan cara digelindingkan. Memang dulu hampir setiap rumah memiliki lumpang. Tetapi itu sudah lama sekali yaitu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Maka penelitian pertama dilakukan di rumah kakek di Dusun Soko II dan Curah III. Ternyata lumpang sudah terpendam dalam sekali di tanah samping rumah.
Kalau perihal kenteng, peneliti malah baru mendengar pertama kali dari perbincangan jemaah masjid tadi, artinya kenteng lebih dulu ditinggalkan daripada lumpang.

2.      Penelitian di Dusun Soko II
Di Dusun Soko II tersebut, ternyata lumpang masih bisa ditemukan dengan jumlah yang lumayan banyak, yaitu ada 7 buah, sedangkan untuk  jumlah kenteng hanya ada 2 buah. Meski begitu,  ukuran kenteng yang satunya pun lebih kecil daripada umumnya.
Memang kebanyakan lumpeng ditemukan terpendam di sekitar rumah. Ada yang sengaja dipendam oleh pemiliknya karena menurut mereka,  jika benda tersebut ditaruh di dalam rumah maupun di halaman rumah, itu hanya akan membuat kotor dan atau memenuhi ruangannya semata. Ada juga yang terpendam karena proses alamiah. Proses ini berawal dari sifat masa bodoh masyarakat yang membiarkannya tergeletak di sembarang tempat (di luar rumah). Terlebih sewaktu musim hujan, lumpang dan kenteng akan lebih mudah terpendam.
Keadaan-keadaan lain yang ditimpakan pada lumpang seperti ditempatkannya di emperan rumah, dijadikannya sebagai tempat pembuangan sampah, tadah hujan, tambahan pondasi rumah, dan ada yang digeletakkan bersama batu-batu biasa. Dari sana, kita akan menyadari bahwa kebanyakan  masyarakat tidak merawatnya.
Sedangkan mengenai kenteng dengan jumlahnya yang sedikit itu, menurut keterangan banyak orang, dulu pernah ada pemborong yang berkeliling untuk membeli kenteng tersebut. Pemborong itu tidak lain adalah tukang batu. Logikanya, tukang batu pasti memperlakukan kenteng tersebut untuk diolah menjadi benda dengan jenis yang  lain. Kebanyakan produk hasilnya yaitu untuk kebutuhan seni. Maka, benda tersebut tidak bisa kita sebut sebagai kenteng lagi. Habislah riwayat kenteng-kenteng di desa.
Malah ketika peneliti mewawancarai masyarakat desa, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menawarkan lumpangnya jika saja peneliti hendak membelinya. Mereka sudah antusias sekali mengajukan harga. Memang yang dipentingkan masyarakat hanyalah uang (materi), tanpa mempedulikan nilai budaya yang ada; begitulah masyarakat kita.

3.      Penelitian di Dusun Curah III
Keadaan yang sama juga terjadi di Dusun Curah III, bahwa  jumlah lumpang yang ada lebih banyak perbandingannya daripada jumlah kenteng. Keadaan lumpang sama-sama memprihatinkannya. Bahkan di dusun ini hanya bisa ditemukan 1 kenteng saja. (Itupun kenteng milik kakek peneliti sendiri.) Keadaan benda ini sangat parah, yaitu terpendam dalam di tanah dan nampak bagian atasnya ditumbuhi banyak lumut kerak.
Pengakuan Siti (32tahun), salah seorang warga Desa Curah III, sama halnya dengan apa yang dinyatakan orang-orang yang diwawancarai sebelumnya, yaitu membenarkan tentang adanya pemborong (tukang batu) yang membeli kenteng-kenteng dii desa. Ia menambahkan kalau masyarakat desa tanpa berpikir panjang segera melepaskan kenteng-kentengnya dengan harga Rp. 25.000 ,00– Rp. 30.000,00.
Yang perlu digarisbawahi penelitian di tempat ini, bahwa terlepas dari itu semua, ternyata masih ada juga satu warga Desa Curah III yang masih mau memanfaatkan lumpang. Namanya Rosadah (37tahun). Lumpang sehari-hari digunakannya untuk meproduksi kerepek(semacam kerupuk lokal yang terbuat dari beras/nasi). Alasan dia menggunakan lumpang tersebut yaitu karena dia belum memiliki peralatan khusus untuk menjalankan usaha sambilannya. Mau tidak mau dia harus melembutkan nasi sebagai bahan pembuatan kerepek dengan lumpang tersebut. Ketika ditanya mengenai nilai budaya yang terkandung di dalamnya, jawabannya dia malah tidak terpikirkan mengenai hal itu.

4.      Penelitian di Dusun Curah II
Sebelumnya, peneliti sempat lama bertanya-tanya mengenai posisi kenteng yang ada di dusun Curah II, akhirnya ditemukan juga di suatu kebun yang terbengkelai. Di sampingnya ada kandang ternak. Di situlah tempat terpendamnya kenteng dengan keadaan terlentang  (terbuka). Hal itu membuatnya tergenang air ketika musim hujan dan diteruskan sampai musim kemarau. Tidak ada satupun anggota masyarakat yang berpikir untuk membersihkan(menguras)nya. Genangan air tersebut berpeluang mengundang nyamuk untuk bertelur, mengingat bahwa warnanya sangat keruh kekuning-kuningan dan tempatnya pun berada di samping kandang ternak. Sungguh miris melihat kenyataan bahwa benda peninggalan budaya tadi hanya dapat menyumbangkan sumber penyakit bagi masyarakat setempat.
 
5.      Asumsi Masyarakat
Satu hal lagi yang sempat peneliti catat yaitu perihal komentar masyarakat yang ditujukan kepada  peneliti sendiri ketika berkeliling melakukan penelitian. Banyak yang menertawakan peneliti. Banyak  juga yang mengejek dengan berkata; kurang kerjaan, tidak ada gunanya, lucu, dan aneh kalau masih mau memberi perhatian pada kedua benda itu, bahkan tanpa ada tanggapan positif pula. Komentar-komentar tadi kiranya mencerminkan asumsi masyarakat itu sendiri terhadap keberadaan lumpeng dan kenteng. Mereka bersifat masa bodoh terhadapnya.

B.     Pembahasan
Dari hasil penelitian di atas, kita sudah mengetahui bahwa lumpang adalah..... kenteng adalah...........
Masyarakat pun bersikap masa bodoh terhadap lumpang dan kenteng. Banyak perilaku masyarakat yang ditimpakan pada kedua jenis benda peninggalan budaya tadi, diantaranya sebagai berikut:
·         digunakan sebagai tempat pembuangan sampah
·          digunakan sebagai tadah hujan
·          digunakan sebagai tambahan pondasi rumah
·         ditempatkan di emperan rumah
·         digeletakkan bersama batu-batu biasa
·         digeletakkan secara terlentang (terbuka), menjadikannya sebagai habitat nyamuk
·         dipendam di tanah samping rumah
·         menggunakannya karena belum memiliki peralatan yang lebih modern.
Ketika melakukan penelitian pun, satu hal lagi yang sempat peneliti catat yaitu perihal komentar masyarakat yang ditujukan kepada  peneliti sendiri ketika berkeliling melakukan penelitian. Banyak yang menertawakan peneliti. Banyak  juga yang mengejek dengan berkata; kurang kerjaan, tidak ada gunanya, lucu, dan aneh kalau masih mau memberi perhatian pada kedua benda itu, bahkan tanpa ada tanggapan positif pula. Komentar-komentar tadi kiranya mencerminkan asumsi masyarakat itu sendiri terhadap keberadaan lumpeng dan kenteng. Kebanyakan dari mereka memang tidak menghargai nilai budaya yang sudah ada.
Adapun faktor utama ditinggalkannya lumpang dan kenteng, tidak lain karena adanya perubahan kebudayaan seiring waktu yang terus berganti. Antara masa lalu dan sekarang sangat banyak bedanya. Teknologi dan industri sudah berkembang sangat pesat, menghasilkan kebudayaan yang berubah pula.
Sekarang tersedia berbagai peralatan, seperti blinder, magic jar, rice cooker, oven, teko lisrik, kompor gas, dan lain-lain. Peralatan tersebut menawarkan kemudahan bagi masyarakat untuk menjalankan urusan rumah tangga, seperti masak memasak. Makanan instan pun juga sudah tersedia di toko-toko terdekat. Maka, corak kehidupan yang  lama benar-benar ditinggalkan. Muncullah berbagai perilaku dan asumsi masyarakat yang tidak menghargai kebudayaan lama berikut benda peninggalannya, lumpang dan kenteng khususnya.



BAB V. PENUTUP

Zaman nyata sudah tidak bersahabat lagi dengan lumpang dan kenteng. Harusnya, fenomena ini tidak boleh dibiarkan. Mumpung sekarang kita masih dapat menemukan lumpang dan kenteng, sudah selayaknya keberadaannya itu mendapatkan perhatian lebih.
Pemerintah terkait harus lekas mengeluarkan kebijakan agar lumpang dan kenteng diselamatkan (dikonservasi). Begitu juga masyarakat luas harus menghargai dan merawat lumpang dan kenteng.














Daftar Pustaka

Û    Susilowati, Nenggih. Batu Dakon dan Lumpang pada Ceruk-Ceruk di Kenagarian Andaleh, Kabupaten lima Puluh Kota: Bentuk Adaptasi Manusia Terhadap Lingkungan. 13  Mei 2008. http://balarmedan.wordpress.com/2008/05/13/batu-dakon-dan-lumpang-pada-ceruk-ceruk-di-kenagarian-andaleh-kabupaten-lima-puluh-kota-bentuk-adaptasi-manusia-terhadap-lingkungan/. Diunduh tanggal 26 April 2011 pukul 5:54 WIB.

Û    Sartono. Lumbang Tembi Lestari di Tengah Sawah Padi. http://tembi.net/id/news/lumpang-tembi-lestari-di-tengah-sawah-padi-1347.html. Diunduh tanggal 26 April 2011 pukul 5:54 WIB.
Û    http://seni-dan-antik.tokobagus.com/furniture/lesung-lumpang-batu-835573.html. Diunduh tanggal 26 April 2011 pukul 5:54 WIB.
Û    Nasution, M. Syurbainy. Surat Tulak-Tulak. Agustus 2007. http://www.mandailingonline.com/2011/04/surat-tulak-tulak/. Diunduh tanggal 26 April 2011 pukul 5:54 WIB.
Û    http://www.kaskus.us/member.php?u=1302499. Diunduh tanggal 26 April 2011 pukul 5:54 WIB.
Û    http://palembang.tribunnews.com/view/61604/lumpang_batu_ditemukan_di_kebun_wako. Diunduh tanggal 26 April 2011 pukul 5:54 WIB.

Dari Valentine's Day Sampai Seks Bebas




Oleh:
Aros Djoangkoe



14 Februari; suatu hari yang menggemparkan! Semua tentu sudah tahu, itu merupakan Valentine's Day! Hari Kasih Sayang, nama lainnya. Katanya, pada hari ituorang-orang saling mengungkapkan rasa sayangnya(dengan berbagi kado dan coklat). Utamanya perayaan ini dilakukan oleh anak muda. Sekarang ini, budaya barat tersebut juga dilakukan oleh orang-orang timur. Di Indonesia, perayaan Valentine's Day juga sudah menjamur dan membudaya. Agen yang menggembor-gemborkan utamanya media massa.
Bukan opini lagi jika bangsa Indonesia di mata bangsa lain terkenal karena budi pekertinya yang luhur. Memang sudah sepantasnya kita ini menjadi bangsa yang gemah ripah loh jinawi
saling tolong menolong, menyayangi satu sama lain, dan bisa menjaga terhadap ssesama. Menurut hemat saya, Indonesia sudah hebat jika sifat tersebut diterapkan secara nyata.
Malangnya, acara semacam Valentine's Day malah bisa menjadikan budaya dan peradaban bangsa kita di ujung tanduk. Pasalnya, adanya Valentine's Day diboncengi dengan budaya barat yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa, seperti maraknya seks bebas, hedonisme dengan pesta besar-besaran, mabuk-mabukan, dll.
Hal ini kemudian menjadi masalah yang sangat serius sebab perayaan ini utamanya di meriahkan oleh generasi muda kita. Mereka ini salah konsep mengenai kasih sayang dan cinta. Hubungan antara laki-laki dan perempuan menjadi tabu rancu.Nilai dan norma yang ada diterjang begitu saja.-Karena itu jugalah muncul hubungan ilegal yang dinamai 'pacaran' dan menjadi umum ada di masyarakat. Legalnya ya nikah!-.
Maka, biasanya pada malam hari tanggal 14 Februari itu mereka keluar rumah untuk merayakan Valentine's Day. Mereka berkumpul dengan teman-temannya untuk pesta dan bersenang-senang. Tidak jarang ada yang mengkonsumsi miras dan narkoba secara berramai-ramai.Yang lebih romantis yaitu ketika mereka keluar rumah untuk bertemu dengan pacarnya. Berdua-duaan dan biasanya lebih menjorok ke mesum!
Artikel ini sungguh tidak hiperbola. Seks bebas nyata 'ngeri' adanya. Seperti yang terungkapdari hasil observasi Badan Koordinasi KB Nasional bahwa sulit sekali menemukan remaja putri di kota-kota besar yang masih perawan. Hal itu dikarenakan setengah dari remaja umur 13 sampai dengan 18 tahun sudah melakukan seks pranikah (Jawa Pos, 29 Nopember 2010). Astaga!
Adalagi dari negara serumpun kita-yang memiliki budaya hampir sama: TRIBUNNEWS.COM -Sedikitnya 80 pria dan wanita Muslim ditangkap setelah dirazia dan tertangkap basah sedang ngeseks dalam operasi yang disebut operasi Valentine’s Day di Selangor dan Kuala Lumpur, Malaysia. Demikian dilansir The Star dan dikutipTribunnews.com, Selasa (15/2/2011).

Di lingkungan sosial penulis sendiri, sudah banyak fenomena yang mengerikan. Para generasi muda terlalu biasa untuk berbicara kotor dan ngeres. Penulis banyak menjumpai siswa-siswi yang berani pegang-pegangan di lingkungan sekolah. Pernah juga bertemu dengan A yang sedang mesum; duduk berdua-duaan sambil merangkul erat lawan jenisnya di emperan rumah warga. Tak lama kemudian warga mengetahuinya. Ia dikejar dan dicari identitasnya, tetapi -seperti yang ia ceritakan padaku-, ia berhasil lolos. Dasar!
Ada lagi B yang sedang berkunjung ke rumahku dan sudah berani membawa 'kondom'
untuk entah. Lainnya, pernah ada gosip bahwa C pernah masuk ke WC sekolah dengan lawan jenisnya. Bahkan ketika suatu hari saya berbicara tentang pantai kepada D, stanpa basa-basi ia pernah melakukan seks bebas di Pantai Parangtritis. Dan masih banyak lagi faktanya.
Inikah kemajuan?Di manakah agama? Di mana juga muka bangsa Indonesia?
Valentine's day itu merupakan produk barat terkait kisah legenda Santo Valentine -paling populer-. Ia ini merupakan pendeta Romawi abad III, hidup di bawah pimpinan Raja Claudius II. Ketika kerajaan hampir runtuh dikarenakan pemberontakan-pemberontakan di banyak daerah, para pemuda direkrut untuk maju berperang. Mereka dilarang melakukan hubungan cinta, pertunangan, dan pernikahan. Valentine menolak itu sehingga ia sebagai pendeta tetap menikahkan para pemuda secara rahasia. Tetapi pada suatu hari ia ketahuan, sehingga ia dipenjara.
Di sanalah kemudian ia bertemu dengan Julia si buta. Ia mengajarinya agama dan sejarah dan berusaha menyembuhkan penyakit butanya itu. Sampai Valentine dihukum mati (penggal kepala), ia belum sempat berpamitan kepada Julia. Kata rerakhir pada suratnya kemudian menjadi populer, "Dengan cinta Valentine-mu." 14 Februari (1269) sendiri merupakan hari meninggalnya Valentine.
Begitulah. Sudah tentu pendeta tersebut memiliki hati yang mulia. Ia lebih memilih untuk menikahkan para pemuda daripada terjadi seks bebas. Valentine's Day yang sekarang nyatanya tidak pas dengan sifat dan perilaku Santo Valentine. Bukan merupakan perwujudannya lagi.
Zaman ini memanglah zaman krisis,Generasi muda sebagai agen perubahan hendaknya mampu menjaga dirinya dan menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang sesungghnya. Melejitkan potensi dan terus berkembang maju. Jadi, langkah awal untuk ini yaitu mari SAY NO TO VALENTINE’S DAY!!!
Salam REVOLUSI!






















Data Diri
Nama                                       : Ahmad Pujianto
Sekolah                       : SMA N I Muntilan, Kab. Magelang
No. HP                                    : 081804342237/ (0293)9126293
Email                           : puji_mustaq@yahoo.com
Akun fb                       : puji_mustaq@yahoo.com / Mas Penulis Muda